Pandang dan Lihat, Dengar dan Berilah Perhatian, Tafsir dan Fikirkan, Faham dan Amalkan, Semoga Anda Zauq Dalam Kebahagiaan...
Khamis, 29 Julai 2010
Rabu, 14 Julai 2010
Keajaiban Optik Mata... Cubalah!
Khamis, 8 Julai 2010
Khusyuk Dalam Ibadah
Dalam kitab Futuhatul Makkiyah karya Ibnu Arabi, ada beberapa kisah tentang orang-orang yang khusyuk. Salah satunya adalah kisah tentang seorang pemuda belia yang mempelajari tasawuf pada seorang guru. Pada suatu pagi, pemuda itu menemui gurunya dalam keadaan pucat pasi. Anak muda itu berkata, "Semalam aku telah mengkhatamkan Al Qur'an dalam shalat malamku." Gurunya berkata, "Bagus. Kalau begitu aku sarankan, nanti malam bacalah Al Qur'an dan hadirkan aku seakan-akan aku berada di hadapanmu dan mendengarkan bacaanmu."
Esoknya, pemuda itu datang dan mengeluh, "Ya Ustadz, semalam aku tak bisa menyelesaikan bacaan Al Qur'an lebih dari setengahnya (15 juz)." Gurunya berkata, "Kalau begitu, nanti malam bacalah Al Qur'an dan hadirkanlah di hadapanmu para sahabat nabi SAW yang mendengarkan Al Qur'an itu langsung dari Rasulullah SAW."
Keesokan harinya pemuda itu berkata, "Ya Ustadz, semalam aku tak bisa menyelesaikan sepertiga dari Al Qur'an itu." Gurunya lalu berkata, "Nanti malam, bacalah Al Qur'an dan hadirkanlah Rasulullah SAW dihadapanmu, yang kepadanya Al Qur'an diturunkan."
Esok harinya, pemuda itu bercerita, "Tadi malam aku hanya bisa membaca satu juz Al Qur'an. Itu pun aku selesaikan dengan susah payah." Sang guru kembali berkata, "Nanti malam bacalah Al Qur'an dengan menghadirkan Jibril, yang diutus Tuhan untuk menyampaikan Al Qur'an kepada nabi."
Esoknya, pemuda itu tak bercerita bahwa ia tak mampu menyelesaikan bacaan Al Qur'annya walau hanya satu juz. Gurunya berkata lagi, "Nanti jika engkau membaca Al Qur'an lagi, hadirkan Allah di hadapanmu. Karena sebetulnya yang mendengarkan bacaan Al Qur'anmu adalah Allah. Dialah yang menurunkan bacaan itu kepadamu."
Keesokan harinya, pemuda itu jatuh sakit. Ketika gurunya bertanya, "Apa yang terjadi?" Anak muda itu menjawab sambil menangis tersedu-sedu, "Aku tak bisa menyelesaikan walau Al Fatihah sekalipun. Ketika hendak kuucapkan Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, lidahku tak sanggup. Dalam mulut kuucapkan, Tuhan, kepadamu aku beribadah, tapi dalam hatiku aku tahu aku sering menomer satukan selain Dia. Ucapan itu tak mau keluar dari lidahku. Sampai terbit fajar, aku tak bisa menyelesaikan Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in."
Tiga hari kemudian, anak muda itu meninggal dunia.
Bagaimana dengan ibadah kita? Tepuk dada tanya iman...
Astaghfirullah...
Esoknya, pemuda itu datang dan mengeluh, "Ya Ustadz, semalam aku tak bisa menyelesaikan bacaan Al Qur'an lebih dari setengahnya (15 juz)." Gurunya berkata, "Kalau begitu, nanti malam bacalah Al Qur'an dan hadirkanlah di hadapanmu para sahabat nabi SAW yang mendengarkan Al Qur'an itu langsung dari Rasulullah SAW."
Keesokan harinya pemuda itu berkata, "Ya Ustadz, semalam aku tak bisa menyelesaikan sepertiga dari Al Qur'an itu." Gurunya lalu berkata, "Nanti malam, bacalah Al Qur'an dan hadirkanlah Rasulullah SAW dihadapanmu, yang kepadanya Al Qur'an diturunkan."
Esok harinya, pemuda itu bercerita, "Tadi malam aku hanya bisa membaca satu juz Al Qur'an. Itu pun aku selesaikan dengan susah payah." Sang guru kembali berkata, "Nanti malam bacalah Al Qur'an dengan menghadirkan Jibril, yang diutus Tuhan untuk menyampaikan Al Qur'an kepada nabi."
Esoknya, pemuda itu tak bercerita bahwa ia tak mampu menyelesaikan bacaan Al Qur'annya walau hanya satu juz. Gurunya berkata lagi, "Nanti jika engkau membaca Al Qur'an lagi, hadirkan Allah di hadapanmu. Karena sebetulnya yang mendengarkan bacaan Al Qur'anmu adalah Allah. Dialah yang menurunkan bacaan itu kepadamu."
Keesokan harinya, pemuda itu jatuh sakit. Ketika gurunya bertanya, "Apa yang terjadi?" Anak muda itu menjawab sambil menangis tersedu-sedu, "Aku tak bisa menyelesaikan walau Al Fatihah sekalipun. Ketika hendak kuucapkan Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, lidahku tak sanggup. Dalam mulut kuucapkan, Tuhan, kepadamu aku beribadah, tapi dalam hatiku aku tahu aku sering menomer satukan selain Dia. Ucapan itu tak mau keluar dari lidahku. Sampai terbit fajar, aku tak bisa menyelesaikan Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in."
Tiga hari kemudian, anak muda itu meninggal dunia.
Bagaimana dengan ibadah kita? Tepuk dada tanya iman...
Astaghfirullah...
Rabu, 7 Julai 2010
Sunan Bonang dengan santrinya
Sebagai seorang wali, Sunan Bonang selalu mengembara untuk menyebarkan agama. Sering kali ia berjalan sendirian, menempuh hutan belantara, mendaki gunung yang tinggi, menuruni jurang yang curam dan mendatangi dusun terpencil di kaki bukit berhutan lebat.
Pada suatu hari ia melakukan perjalanan bersama seorang santrinya. Mereka membawa bekal nasi bungkus yang dibeli di warung pada sebuah desa di sempadan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Setelah selesai solat Dzuhur, di tepi sebuah telaga yang bening, kedua-dua orang guru dan murid itu berehat pada suatu tempat yang lapang dalam naungan daun-daun sebatang pohon beringin yang rimbun.
Mereka membuka nasi bungkus masing-masing, lalu memakannya dengan lahap kerana perut sudah keroncongan. Tentu saja diawali membaca basmalah dan doa syukur kepada Tuhan.
Rupanya, kerana nikmatnya, santri Sunan Bonang sehingga tidak sedar di pinggir mulutnya ada beberapa butir nasi yang melekat. Ketika selesai makan butir-butir tersebut masih disitu. Sunan Bonang sebagai guru lantas menegur, "Hai, santri. Jorok kamu."
"Mengapa guru?" tanya santri hairan.
"Orang Islam tidak boleh jorok. Kebersihan adalah sebahagian dari iman."
"Apa saya jorok?"
"Itu, di tepi bibirmu banyak butir nasi tertinggal," jawab Sunan Bonang sambil menuding dengan telunjuknya.
Maka, dengan kemalu-maluan ia akan menyapu bibirnya dan membuang nasi itu ke tanah. Tiba-tiba Sunan Bonang mengherdik:
"Wahai santri. Bodoh kamu! Mengapa kau buang begitu saja sisa-sisa nasi itu?"
Santri tersebut makin tidak faham. Ia pun berdalih, "Bukankah Guru berkata jorok kepada saya kerana ada butir-butir nasi di mulut saya? Maka saya buanglah nasi itu. Apa harus saya makan?"
"Tidak, bukan kau makan.Memang ada hadis Nabi yang mengatakan beliau menyarankan agar makanan yang tersisa di hujung-hujung jari pun harus dihabiskan, kalau perlu menjilatnya. Tapi maksudnya bukan harfiah begitu. Beliau bermaksud supaya kita tidak boleh mensia-siakan makanan, walaupun cuma sedikit. "
"Berarti tindakan saya membuang sisa nasi di mulut saya tadi tidak salah?"
"Tidak."
"Jadi mengapa Guru mengatakan saya bodoh dan marah kepada saya?"
"Karena kamu memang bodoh."
"Maksud Guru?"
"Kau boleh membuang sisa nasi itu, tetapi harus dengan niat. Iaitu, kerana nasi tersebut tidak mungkin kau manfaatkan lagi, maka buanglah dengan niat agar boleh dimakan oleh mahluk-mahluk Allah yang lain, seperti semut, dan sebangsanya. Sebab kalau kamu tidak dengan niat begitu, bererti kamu membuat membazir rezeki Allah, kurnia Allah. Dan orang-orang yang suka berbuat membazir adalah saudaranya syaitan. Termasuk jika kamu membuang makanan basi ke tempat sampah, berniatlah agar dimakan anjing atau babi. Mereka juga mahluk Allah yang perlu disayangi. Walaupun mereka hukumnya najis "Mughaladzah", tidak bererti boleh disakiti atau dianiaya. Mereka juga harus diperhatikan nasibnya. "
Sumber: 30 Kisah Teladan, Pengarang: KH Abdurrahman Arroisi.
Penerbit: Sdn Bhd Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sumber : http://majlisdzikrullahpekojan.org/kisah-hikmah/sunan-bonang-dengan-santrinya.html
Pada suatu hari ia melakukan perjalanan bersama seorang santrinya. Mereka membawa bekal nasi bungkus yang dibeli di warung pada sebuah desa di sempadan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Setelah selesai solat Dzuhur, di tepi sebuah telaga yang bening, kedua-dua orang guru dan murid itu berehat pada suatu tempat yang lapang dalam naungan daun-daun sebatang pohon beringin yang rimbun.
Mereka membuka nasi bungkus masing-masing, lalu memakannya dengan lahap kerana perut sudah keroncongan. Tentu saja diawali membaca basmalah dan doa syukur kepada Tuhan.
Rupanya, kerana nikmatnya, santri Sunan Bonang sehingga tidak sedar di pinggir mulutnya ada beberapa butir nasi yang melekat. Ketika selesai makan butir-butir tersebut masih disitu. Sunan Bonang sebagai guru lantas menegur, "Hai, santri. Jorok kamu."
"Mengapa guru?" tanya santri hairan.
"Orang Islam tidak boleh jorok. Kebersihan adalah sebahagian dari iman."
"Apa saya jorok?"
"Itu, di tepi bibirmu banyak butir nasi tertinggal," jawab Sunan Bonang sambil menuding dengan telunjuknya.
Maka, dengan kemalu-maluan ia akan menyapu bibirnya dan membuang nasi itu ke tanah. Tiba-tiba Sunan Bonang mengherdik:
"Wahai santri. Bodoh kamu! Mengapa kau buang begitu saja sisa-sisa nasi itu?"
Santri tersebut makin tidak faham. Ia pun berdalih, "Bukankah Guru berkata jorok kepada saya kerana ada butir-butir nasi di mulut saya? Maka saya buanglah nasi itu. Apa harus saya makan?"
"Tidak, bukan kau makan.Memang ada hadis Nabi yang mengatakan beliau menyarankan agar makanan yang tersisa di hujung-hujung jari pun harus dihabiskan, kalau perlu menjilatnya. Tapi maksudnya bukan harfiah begitu. Beliau bermaksud supaya kita tidak boleh mensia-siakan makanan, walaupun cuma sedikit. "
"Berarti tindakan saya membuang sisa nasi di mulut saya tadi tidak salah?"
"Tidak."
"Jadi mengapa Guru mengatakan saya bodoh dan marah kepada saya?"
"Karena kamu memang bodoh."
"Maksud Guru?"
"Kau boleh membuang sisa nasi itu, tetapi harus dengan niat. Iaitu, kerana nasi tersebut tidak mungkin kau manfaatkan lagi, maka buanglah dengan niat agar boleh dimakan oleh mahluk-mahluk Allah yang lain, seperti semut, dan sebangsanya. Sebab kalau kamu tidak dengan niat begitu, bererti kamu membuat membazir rezeki Allah, kurnia Allah. Dan orang-orang yang suka berbuat membazir adalah saudaranya syaitan. Termasuk jika kamu membuang makanan basi ke tempat sampah, berniatlah agar dimakan anjing atau babi. Mereka juga mahluk Allah yang perlu disayangi. Walaupun mereka hukumnya najis "Mughaladzah", tidak bererti boleh disakiti atau dianiaya. Mereka juga harus diperhatikan nasibnya. "
Sumber: 30 Kisah Teladan, Pengarang: KH Abdurrahman Arroisi.
Penerbit: Sdn Bhd Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sumber : http://majlisdzikrullahpekojan.org/kisah-hikmah/sunan-bonang-dengan-santrinya.html
Khamis, 1 Julai 2010
Dunia Memang Menyakitkan...
Tiada apa yang menarik semalam, kecuali sedikit kerja di luar pejabat yang perlu saya selesaikan dengan kadar yang segera. Pergi ke CIMB Satok untuk bayar rumah, menguruskan ASB dan 'nyelepat' sebentar dengan sahabat baik saya untuk minum pagi.
Kebanyakan tugasan di pejabat telah saya siapkan sehari sebelum. Makanya, tidak banyak kerja yang hendak dibuat pada hari semalam, kecuali sedikit sahaja yang boleh dibuat pada bila-bila masa sahaja. Setelah meminta izin dari boss dan Tuan Wenndy, saya bergerak keluar dari pejabat dan menuju ke Satok. Pejabat tampak sunyi hari semalam kerana boss dan Radzi akan berangkat ke Sibu, manakala Harun dan Zulhatta pula akan ke Saratok.
Tepat 9:15 pagi, pintu bank dibuka. Saya mengisi borang dan mengambil nombor giliran. Semasa menunggu, sahabat baik saya call dan mengajak minum pagi bersama. Saya bersetuju setelah urusan di bank selesai.
Semasa berurusan di kaunter, sempat saya menjeling di hujung kaunter tersebut yang kelihatan beberapa orang pekerja memunggah beberapa kotak berisi wang kertas RM 50 dan Rm 100. Berbungkal-bungkal not wang tersebut dikeluarkan dari kotak dan dikira oleh pegawai berkenaan. Saya kagum sekejap melihat sejumlah wang yang begitu banyak, dan berangan kalau kesemua wang tersebut milik saya.
Usai urusan di bank, saya menuju ke tempat minum untuk memenuhi jemputan sahabat baik saya. Kelihatan sahabat saya telah menunggu di meja makan. Kami bersalaman dan membuat pesanan. Kopi tongkat ali, mee goreng dan roti planta menjadi menu kami pada hari tersebut.
Saya mengenali sahabat baik saya ini hampir belasan tahun lamanya. Kami berkawan semenjak di bangku sekolah lagi. Saya selesa berkawan dengannya kerana kami banyak berkongsi pengalaman hidup, dan rahsia masing-masing. Sahabat saya ini pandai memberi nasihat dan melontar idea. Saya sendiri banyak belajar daripada beliau. Jarak umur yang tidak jauh menyebabkan kami tidak janggal untuk berkawan rapat. Dengan usia yang agak tua sedikit daripada saya, kami seumpama adik beradik yang berlainan orang tua.
Sahabat baik saya ini bakal menjadi raja sehari pada hujung tahun ini. Seperti bakal pengantin yang lain, beliau dan tunangannya baru sahaja pulang dari Kuala Lumpur untuk membeli barang hantaran. Dari ceritanya, banyak juga belanja yang dikeluarkan. Maklumlah, bakal isterinya anak orang kaya, malah pakcik kepada tunangan sahabat baik saya ini merupakan seorang ahli perniagaan berpangkat datuk yang terkenal di Sarawak.
Sambil minum, kami bersembang pelbagai perkara. Namun topik kali ini lebih serius, iaitu berkenaan persiapan perkahwinan. Banyak perkara yang dikeluhkan, khususnya tentang belanja hantaran nikah. Terkejut juga saya apabila beliau mengatakan belanja untuk hantaran sahaja mencecah ribuan ringgit.
Saya termangu. Kalau tiba giliran saya kelak, berapa agaknya belanja yang terpaksa saya keluarkan. Simpanan memang ada, insya Allah. Kalau nak fikir hal duit, semua perkara memerlukan duit. Nak buang air pun perlu bayar 20 sen, inikan pula nak ambil anak orang buat isteri.
Masalah wang dihadapi oleh semua orang. Tiada yang terlepas, hatta orang kaya sekalipun akan mengatakan dirinya tidak cukup wang untuk menampung keperluan hiudp. Taraf hidup manusia masakini semakin meningkat. Keperluan asas menuntut belanja yang lebih banyak, belum masuk kehendak asasi lagi. Perkara seperti ini kadang-kadang membimbangkan saya. Dengan gaji yang sederhana, saya cuba untuk 'survive' di celah belantara moden yang semakin hari semakin zalim ini. Syukurlah saya punya iman dan keluarga yang sentiasa menyokong saya. Ibu sering berpesan kepada saya, bukan kerana wang banyak kita dapat meneruskan kesinambungan hidup, tetapi atas sebab berkat dan izin Allah lah yang dapat menyebabkan kita untuk terus hidup. Ibu sering menitikberatkan pengurusan kewangan kepada saya semenjak dari bangku sekolah lagi. Saya akui, saya agak pemboros satu ketika dahulu, namun berkat didikan ibu, alhamdulillah saya sudah mempunyai simpanan sendiri yang insya Allah boleh untuk 'survive' sikit-skit, walau tidak semewah orang lain.
Saya mendengar dengan teliti cerita sahabat baik saya. Saya akui, saya sendiri mengalami dilema yang sama. Namun saya enggan mengalah kepada keadaan ini kerana selagi ada kudrat dan kemampuan, saya akan teruskan perancangan hidup saya. Saya meletakkan Allah di hati saya dan memohon panduan dariNya bagi menyelesaikan setiap permasalahan hidup. Saya yakin, selagi keberkatan itu ada, selagi saya percaya kepada kehendak takdir, saya tidak akan kalah.
Perbualan kami melarat ke pelbagai topik yang lain. Hal kahwin, perancangan hidup selepas berumah tangga, target masa depan dan lain-lain. Malah sempat juga kami bercerita tentang kerenah pasangan. Maklumlah, cerita pasal perempuan. Kadang-kadang menyusahkan hati, tapi dalam pada itu, lucunya pun ada juga.
Teringat pula saya tentang satu kisah, mengenai seorang lelaki yang mengadu masalah tunangnya kepada saya. Kisah ini saya rasa wajar dijadikan pengajaran tidak kira lelaki atau perempuan, supaya boleh kita ambil iktibar sebagai panduan hidup kita.
Cinta Beralih Arah...
Kawan : Asri, kau boleh tak tolong tengokkan tunang aku? Aku rasa dia kena sihir lah.
Saya : Apasal kau cakap macam tu. Tak elok menuduh orang. Selidik dulu betul-betul. Cuba cerita kat aku apa masalah engkau.
Kawan : Entahlah. Aku tengok tunang aku tu dah macam tak sayang kat aku lah. Makin hari makin 'dingin' je ngan aku. Aku call dia tak jawab, sms pun tak reply. Bila aku jumpa dia, asyik marah-marah. Bila aku tanya, dia kata takde apa-pa. Pelik betul lah. Aku syak dia ada lelaki lain.
Saya : Eish, jangan cakap macam tu. Engkau ada buat salah kot? Pegi la mintak maaf kat dia.
Kawan : Dah buat dah. Tapi dia masih dingin ngan aku. Sedih aku macam ni. Aku sayang kat dia.
Saya terdiam. Ye lah, siapa tak sayang tunang kan? Kalau dulu masa mengorat, bukan main susah. Ni dah bertunang, tinggal nak kahwin je lagi, tiba-tiba perempuan tu buat hal, siapa tak sedih?
Saya : Aku rasa tunang engkau tak kena sihir la. Pergi tanya dia elok-elok, bawak berbincang. Mungkin dia ada masalah lain yang engkau tak tahu.
Kawan : Masalahnya, dia taknak bagitau apa masalah dia. Aku dah tanya dah, dia kata takde apa-apa, biasa je.
Saya berfikir, last-last...
Saya : Engkau buat sembahyang hajat je lah. Doa mintak Tuhan lembutkan hati dia. Kalau memang jodoh engkau, insya Allah, tak ke manalah perempuan tu (cakap memang senang le, bila buat?). Bangun malam, buat qiamullail. Satu lagi, sayang tunang tu sayang jugak, tapi berpada-pada. Cinta Allah tu lebih mustahak dan utama. Tu la akibatnya kalau mendahulukan cinta dunia daripada cinta Allah. Menderita jiwa raga.
Nasihat saya itu sebenarnya 'memukul' diri saya sendiri. Cinta dunia adalah penyakit yang biasa dihadapi oleh semua orang. Dan saya rasa saya juga ada penyakit tersebut. Saya sendiri mempunyai rasa cinta kepada pasangan, namun saya tidak tahu ukuran cinta saya itu. Apa yang saya tahu ialah, saya ikhlas. Adakah saya akan 'menderita' juga seperti kawan saya ini bila keadaan yang sama berlaku ke atas diri saya?
Demikianlah manusia, bila diberi nikmat, mula lupa dan lalai. Tapi bila ujian menimpa, baru nak sedar diri.
Astaghfirullah...
Kebanyakan tugasan di pejabat telah saya siapkan sehari sebelum. Makanya, tidak banyak kerja yang hendak dibuat pada hari semalam, kecuali sedikit sahaja yang boleh dibuat pada bila-bila masa sahaja. Setelah meminta izin dari boss dan Tuan Wenndy, saya bergerak keluar dari pejabat dan menuju ke Satok. Pejabat tampak sunyi hari semalam kerana boss dan Radzi akan berangkat ke Sibu, manakala Harun dan Zulhatta pula akan ke Saratok.
Tepat 9:15 pagi, pintu bank dibuka. Saya mengisi borang dan mengambil nombor giliran. Semasa menunggu, sahabat baik saya call dan mengajak minum pagi bersama. Saya bersetuju setelah urusan di bank selesai.
Semasa berurusan di kaunter, sempat saya menjeling di hujung kaunter tersebut yang kelihatan beberapa orang pekerja memunggah beberapa kotak berisi wang kertas RM 50 dan Rm 100. Berbungkal-bungkal not wang tersebut dikeluarkan dari kotak dan dikira oleh pegawai berkenaan. Saya kagum sekejap melihat sejumlah wang yang begitu banyak, dan berangan kalau kesemua wang tersebut milik saya.
Usai urusan di bank, saya menuju ke tempat minum untuk memenuhi jemputan sahabat baik saya. Kelihatan sahabat saya telah menunggu di meja makan. Kami bersalaman dan membuat pesanan. Kopi tongkat ali, mee goreng dan roti planta menjadi menu kami pada hari tersebut.
Saya mengenali sahabat baik saya ini hampir belasan tahun lamanya. Kami berkawan semenjak di bangku sekolah lagi. Saya selesa berkawan dengannya kerana kami banyak berkongsi pengalaman hidup, dan rahsia masing-masing. Sahabat saya ini pandai memberi nasihat dan melontar idea. Saya sendiri banyak belajar daripada beliau. Jarak umur yang tidak jauh menyebabkan kami tidak janggal untuk berkawan rapat. Dengan usia yang agak tua sedikit daripada saya, kami seumpama adik beradik yang berlainan orang tua.
Sahabat baik saya ini bakal menjadi raja sehari pada hujung tahun ini. Seperti bakal pengantin yang lain, beliau dan tunangannya baru sahaja pulang dari Kuala Lumpur untuk membeli barang hantaran. Dari ceritanya, banyak juga belanja yang dikeluarkan. Maklumlah, bakal isterinya anak orang kaya, malah pakcik kepada tunangan sahabat baik saya ini merupakan seorang ahli perniagaan berpangkat datuk yang terkenal di Sarawak.
Sambil minum, kami bersembang pelbagai perkara. Namun topik kali ini lebih serius, iaitu berkenaan persiapan perkahwinan. Banyak perkara yang dikeluhkan, khususnya tentang belanja hantaran nikah. Terkejut juga saya apabila beliau mengatakan belanja untuk hantaran sahaja mencecah ribuan ringgit.
Saya termangu. Kalau tiba giliran saya kelak, berapa agaknya belanja yang terpaksa saya keluarkan. Simpanan memang ada, insya Allah. Kalau nak fikir hal duit, semua perkara memerlukan duit. Nak buang air pun perlu bayar 20 sen, inikan pula nak ambil anak orang buat isteri.
Masalah wang dihadapi oleh semua orang. Tiada yang terlepas, hatta orang kaya sekalipun akan mengatakan dirinya tidak cukup wang untuk menampung keperluan hiudp. Taraf hidup manusia masakini semakin meningkat. Keperluan asas menuntut belanja yang lebih banyak, belum masuk kehendak asasi lagi. Perkara seperti ini kadang-kadang membimbangkan saya. Dengan gaji yang sederhana, saya cuba untuk 'survive' di celah belantara moden yang semakin hari semakin zalim ini. Syukurlah saya punya iman dan keluarga yang sentiasa menyokong saya. Ibu sering berpesan kepada saya, bukan kerana wang banyak kita dapat meneruskan kesinambungan hidup, tetapi atas sebab berkat dan izin Allah lah yang dapat menyebabkan kita untuk terus hidup. Ibu sering menitikberatkan pengurusan kewangan kepada saya semenjak dari bangku sekolah lagi. Saya akui, saya agak pemboros satu ketika dahulu, namun berkat didikan ibu, alhamdulillah saya sudah mempunyai simpanan sendiri yang insya Allah boleh untuk 'survive' sikit-skit, walau tidak semewah orang lain.
Saya mendengar dengan teliti cerita sahabat baik saya. Saya akui, saya sendiri mengalami dilema yang sama. Namun saya enggan mengalah kepada keadaan ini kerana selagi ada kudrat dan kemampuan, saya akan teruskan perancangan hidup saya. Saya meletakkan Allah di hati saya dan memohon panduan dariNya bagi menyelesaikan setiap permasalahan hidup. Saya yakin, selagi keberkatan itu ada, selagi saya percaya kepada kehendak takdir, saya tidak akan kalah.
Perbualan kami melarat ke pelbagai topik yang lain. Hal kahwin, perancangan hidup selepas berumah tangga, target masa depan dan lain-lain. Malah sempat juga kami bercerita tentang kerenah pasangan. Maklumlah, cerita pasal perempuan. Kadang-kadang menyusahkan hati, tapi dalam pada itu, lucunya pun ada juga.
Teringat pula saya tentang satu kisah, mengenai seorang lelaki yang mengadu masalah tunangnya kepada saya. Kisah ini saya rasa wajar dijadikan pengajaran tidak kira lelaki atau perempuan, supaya boleh kita ambil iktibar sebagai panduan hidup kita.
Cinta Beralih Arah...
Kawan : Asri, kau boleh tak tolong tengokkan tunang aku? Aku rasa dia kena sihir lah.
Saya : Apasal kau cakap macam tu. Tak elok menuduh orang. Selidik dulu betul-betul. Cuba cerita kat aku apa masalah engkau.
Kawan : Entahlah. Aku tengok tunang aku tu dah macam tak sayang kat aku lah. Makin hari makin 'dingin' je ngan aku. Aku call dia tak jawab, sms pun tak reply. Bila aku jumpa dia, asyik marah-marah. Bila aku tanya, dia kata takde apa-pa. Pelik betul lah. Aku syak dia ada lelaki lain.
Saya : Eish, jangan cakap macam tu. Engkau ada buat salah kot? Pegi la mintak maaf kat dia.
Kawan : Dah buat dah. Tapi dia masih dingin ngan aku. Sedih aku macam ni. Aku sayang kat dia.
Saya terdiam. Ye lah, siapa tak sayang tunang kan? Kalau dulu masa mengorat, bukan main susah. Ni dah bertunang, tinggal nak kahwin je lagi, tiba-tiba perempuan tu buat hal, siapa tak sedih?
Saya : Aku rasa tunang engkau tak kena sihir la. Pergi tanya dia elok-elok, bawak berbincang. Mungkin dia ada masalah lain yang engkau tak tahu.
Kawan : Masalahnya, dia taknak bagitau apa masalah dia. Aku dah tanya dah, dia kata takde apa-apa, biasa je.
Saya berfikir, last-last...
Saya : Engkau buat sembahyang hajat je lah. Doa mintak Tuhan lembutkan hati dia. Kalau memang jodoh engkau, insya Allah, tak ke manalah perempuan tu (cakap memang senang le, bila buat?). Bangun malam, buat qiamullail. Satu lagi, sayang tunang tu sayang jugak, tapi berpada-pada. Cinta Allah tu lebih mustahak dan utama. Tu la akibatnya kalau mendahulukan cinta dunia daripada cinta Allah. Menderita jiwa raga.
Nasihat saya itu sebenarnya 'memukul' diri saya sendiri. Cinta dunia adalah penyakit yang biasa dihadapi oleh semua orang. Dan saya rasa saya juga ada penyakit tersebut. Saya sendiri mempunyai rasa cinta kepada pasangan, namun saya tidak tahu ukuran cinta saya itu. Apa yang saya tahu ialah, saya ikhlas. Adakah saya akan 'menderita' juga seperti kawan saya ini bila keadaan yang sama berlaku ke atas diri saya?
Demikianlah manusia, bila diberi nikmat, mula lupa dan lalai. Tapi bila ujian menimpa, baru nak sedar diri.
Astaghfirullah...
Langgan:
Catatan (Atom)