Rabu, 14 April 2010

Tulah...

Rasa terpanggil untuk membuat entry tentang kebejatan sosial di kalangan budak-budak sekolah zaman sekarang...

Seminggu 2 ni, belakang rumah kami dijadikan port untuk budak sekolah ponteng. Dengan berbaju sekolah, mereka duduk melepak dan bersembang entah apa-apa, sambil menghisap rokok. Ini menimbulkan ketidakselesaan dengan keluarga kami kerana port mereka ponteng begitu hampir dengan kebun di belakang rumah. Bebudak ni pernah ditegur oleh ibu saya, Hjh Fatimah kerana ibu sering berkebun di waktu pagi. Telefon polis pun sudah, bila polis datang 'lintang-perinang' (bahasa Sarawak bermaksud lintang pukang) mereka lari. Tapi lepas tu datang balik melepak. Saya pun sampai naik fed-up.

Sebentar tadi, saya minum petang dengan ibu dan ayah. Bandung rebus cicah dengan gula apong, memang mengasyikkan. Sambil itu kami bersembang pelbagai topik, termasuklah kisah budak-budak ponteng belakang rumah.Hasil siasatan rambang ayah dengan ustaz Jaafar (jiran sebelah rumah), mereka jumpa botol yang digunakan untuk menghisap syabu. Saya terkejut bila ayah bercerita demikian. Saya sangkakan mereka hanya menghisap rokok sahaja.

Ustaz Jaafar dan ayah bercadang untuk melaporkan perkara ini kepada polis. Baguslah, saya pun suka tengok budak-budak macam ni masuk lokap. Dah bagi nasihat pun masih tak makan ajar,elok masuk lokap terus.

Namun, ada satu kisah menarik yang ayah ceritakan kepada kami sebentar tadi. Kisah yang saya rasa patut dijadikan pengajaran bukan sahaja kepada budak-budak sekolah, tetapi juga kepada ibu bapa yang bertanggungjawab mendidik anak-anak mereka agar menjadi orang yang berguna.

Kisahnya bermula apabila ada seorang budak sekolah di kampung ini yang buat hal di sekolah. Budak ni, terkenal dengan kesamsengannya, malah ahli (mungkin kepala) kumpulan gengster. Pukul ugut, gaduh dan lain-lain masalah, memang biasa budak ni buat. Sampai satu hari, budak ni dikenakan tindakan oleh salah seorang guru sekolahnya. Budak ni yang tak puas hati, terus mengadu kepada bapanya yang juga gengster kampung.

Bapa budak ni, yang kalau boleh saya panggil dia L, pun samseng macam anak dia juga. L ada memelihara ayam sabung, mungkin digunakan untuk berjudi ayam sabung dan lain-lain. Tatu ada kat badan, menunjukkan yang dia ni samseng. Bila L dengar aduan anaknya, tanpa panjang cerita, L terus pergi sekolah dan menumbuk dan memukul guru yang mengenakan tindakan disiplin ke atas anaknya. Kesian guru tu, terkulat-kulat menahan sakit, dengan luka di kepala. Tersenyum puas lah budak gengster tu kerana bapak pun menyebelahi dia.

Budak ni juga selalu buat bising waktu Maghrib. Asal penduduk kampung nak mula sembahyang, budak ni akan main motosikal dia sambil menekan minyak dengan kuat sehingga menimbulkan bunyi bising. Jemaah surau dan ayah selalu juga komplen pasal budak ni yang selalu bising main motorsikal depan surau. Namun tiada tindakan yang diambil.

Tidak lama selepas bapak budak tu pukul guru, anak dia (si budak gengster) ni pun pergilah berlumba motorsikal di jalan raya Masja. Untuk pengetahuan, bila disebut Masja, secara otomatik warga Kuching akan mengatakan di situlah tempat mat dan minah rempit berlumba motorsikal. Kalau tak percaya, boleh pergi sana malam minggu. Gerenti ramai.

Budak ni pun berlumba motorsikal dengan geng-geng dia. Malang tak berbau, budak ni eksiden dan melanggar rakannya sendiri. Dia meninggal dunia pada ketika kejadian tersebut berlaku.

Ironinya, budak ni eksiden dan meninggal dunia ketika berlumba motorsikal, dan juga pada waktu MAGHRIB! Waktu ketika dia selalu buat bising petang-petang ketika orang nak sembahyang Maghrib.

Kini, dah seminggu budak tu meninggal dunia. Saya pun baru tau cerita sebentar tadi ketika duduk bersembang dengan ayah dan ibu waktu minum petang.

Soalan saya, inikah dinamakan TULAH?

Wallahu 'alam...

Khamis, 8 April 2010

Mayat Berjalan... Mitos atau Realiti?

Mitos mayat hidup yang berjalan menuju makamnya muncul dari keberadaan bombo.
Memandang kabut dari kaca bus Alam Indah pada akhir September 2008, rasanya waktu imajiner saya berhenti. Subuh itu, di ketenangan danau buatan di lingkar patung Pong Tiku, pahlawan Toraja, serta dilatari Gereja Sion I peninggalan Belanda dan Gunung Buntu Burake (1.094 meter di atas permukaan laut/mdpl), saya memasuki Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja. Makale, yang mendapat julukan "kota dengan seribu menara gereja", di bukit itu belum beraktivitas. Jalan-jalan masih sunyi. Lampu-lampu jalan masih menyala.

Tapi, destinasi terakhir bukan Makale, melainkan Rantepao, berjarak 250 kilometer dari Makassar. Perjalanan 13 kilometer dari Makale menuju ibu kota pariwisata Tana Toraja itu seakan hanya menegaskan satu hal: ini bukan perjalanan biasa. Dengan bayang-bayang tradisi kematiannya yang unik, saya tembus batas ruang imajinasi masa kecil tentang Tana Toraja--yang paling teringat dan mencekam--tentang mayat yang bisa berjalan menuju kuburnya di gunung batu.

Apakah betul? Atau apakah perjalanan kali ini hanya menegaskan komentar seorang teman yang pernah ke sini, "... hanya melihat sisa-sisa orang hidup?" Turun di depan Hotel Indra Toraja, hari sudah terang.

Suatu tempat itu luar biasa atau tidak, boleh jadi sangat personal, hanya soal persepsi. Dengan mengubah sudut pandang, kita pasti menemukan bahwa suatu tempat selalu mempunyai daya tarik yang tersembunyi, walaupun sudah begitu terkenalnya. Di Tana Toraja, terus terang, ada dua pilihan: eksplorasi destinasi turisme yang telah tenar atau mencoba lebih dalam menemukan zeitgeist, roh zaman manusia yang terpancar dari interaksinya dengan alam lingkungannya.

Saya tahu, pilihan kedua itu muluk sekali, tapi itulah yang kadang menarik ketika melakukan perjalanan. Walau membekali diri dengan literatur mengenai Tana Toraja, tidak mungkin sebagai the outsider dengan seketika saya menemukan zeitgeist tersebut. Karena itu, perlu kompromi dengan diri sendiri: datang saja ke destinasi wisata, nikmati lama-lama, berinteraksi dengan orang lokal, serta memaksa diri mencatat banyak detail kecil, deskripsi dan nuansa.

Pertama yang saya lakukan adalah menginventarisasi kata-kata kunci tentang Tana Toraja, antara lain Kete' Kesu, Batutumonga, tongkonan, tau tau, tedong. Maka dari itu, dengan sepeda motor sewaan, saya mulai keluyuran. Strategi kali ini adalah mengunjungi tempatnya: Kete' Kesu.

Kete' Kesu merupakan desa tradisional tertua nan unik di Kecamatan Sanggalagi dengan hanya 20 keluarga. Menurut brosur pariwisata yang saya baca, desa ini paling lengkap menyajikan segala sesuatu tentang tradisi merayakan kematian di Toraja.

Pelan-pelan saya daki Bukit Buntu Kesu, sebuah bukit berbatu di barat desa, dengan ketinggian 927 mdpl. Di Buntu Kesu, di dinding-batu terpapar banyak sekali tulang dan tengkorak manusia. Sebagian tergeletak begitu saja karena peti mati atau erong (peti mati yang diukir kepala binatang, misalnya ular naga dan babi), sebagai tempat penyimpanannya, sudah hancur dimakan usia. Wajar saja, menurut literatur, umur kubur batu di Kete' Kesu ini sudah mencapai 700-an tahun. Sangat banyak, tersaji mulai kaki bukit sampai pertengahan bukit.

Hari memang sudah sore, tapi matahari masih cukup terang untuk tidak membuat saya merinding walaupun sendirian. Suasananya tidak semencekam di Londa, gua di Desa Sandan Uai, yang mempunyai banyak cabang dan jauh masuk ke perut bukit. Gua alam itu adalah tempat banyak tengkorak diletakkan begitu saja dalam ceruk-ceruk gua, dan untuk masuk ke dalamnya, saya mesti dipandu penduduk setempat yang membawa lampu minyak agar tidak tersesat.

Di pertengahan Bukit Buntu Kesu terdapat ceruk gua yang diteralis. Menurut kabar, isi ceruk gua tersebut pernah akan dicuri turis, karena itu, terpaksa diteralis. Di dalamnya terdapat beberapa tau-tau, patung-patung dari kayu nangka yang merupakan miniatur orang meninggal. Tau-tau itu duduk rapi berjejer. Tau-tau dibuat semirip mungkin dengan aslinya, juga diberi pakaian yang merupakan pakaian kesukaan si orang mati selama hidup. Menurut tradisi Toraja, hanya turunan bangsawan yang dapat dibuatkan tau-tau dirinya. Salah satunya adalah tau-tau Nek Rendah, yang diberi baju warna ungu. Di sebelah Nek Rendah, ada suaminya yang berjas lusuh, berkacamata, dan sedang memegang tongkat. Sorot mata mereka tajam melihat saya. Mereka adalah bangsawan Sarunggallo.

Saya teringat kedatangan saya hari sebelumnya di Desa Lemo. Suatu destinasi wisata yang sangat terkenal dengan deretan tau-tau di ketinggian dinding-batu. Dari kejauhan tampak anak-anak laki dan perempuan Desa Lemo duduk di pinggir bukit. Mereka sedang bermain-main. Satu di antaranya menyanyikan lagu-lagu berbahasa Toraja. Suaranya mengalun, seakan mengikuti angin mengitari lembah-lembah dan puncak-puncak bukit yang datarannya sawah--yang hijau terhampar.

Di Lemo, ada kira-kira 75 lubang batu, dengan 45 buah tau-tau. Saya penasaran dengan tau-tau di Lemo karena keunikan posisi tangannya yang menengadah, dengan telapak menghadap ke atas, seolah-olah sedang memohon pertolongan. Rupanya ini pertanda bahwa dalam alam mati pun, mereka masih selalu minta kepada keturunannya yang masih hidup agar mendoakan dan melakukan upacara bagi mereka. Inilah yang membedakan tau-tau di Desa Lemo dengan di Desa Kete' Kesu.

Di Desa Kete' Kesu, saya bertemu dengan Toni, penduduk asli yang berambut gondrong dan merupakan pemegang kunci tongkonan, rumah adat keluarga. Letak tongkonan tepat di tengah deretan tongkonan lain, dengan tanduk tedong (kerbau) yang paling banyak. Saya dibawa masuk ke tongkonan yang sekaligus museum pribadi itu, lalu berkenalan dengan suasana batin dan suasana masa lalu Toraja versi Toni.

Di pojok ruangan yang pengap dan penuh barang-barang tua, saya lihat tau-tau seorang ibu tua. Patung itu diberi baju dan kain tenun berwarna gelap. Yang unik adalah adanya batang rokok yang terselip di jari tangannya. Siapa dia?

Dengan bersemangat, Toni menjawab bahwa itulah tantenya, J.T. Sarunggallo, si perokok berat, yang kerap dipanggil Tante Takdung. Yang menarik, Tante Takdung adalah penjahit bendera Merah-Putih pertama yang dikibarkan di Tana Toraja pada zaman pergerakan kemerdekaan dulu. Penjaga museum keluarga itu menambahkan, hampir seluruh keluarga si tante adalah pejuang melawan Belanda. Omnya, yang saat itu menjabat Kepala Distrik Masamba, bahkan mati ditembak Belanda karena melindungi warga yang sedang diburu Belanda. Rupanya, selain Pong Tiku, yang telah menjadi pahlawan nasional, Tana Toraja punya pejuang-pejuang lokal yang tidak tercatat sejarah.

"Mengapa kami akrab dengan perayaan kematian?" Ucapan Toni itu awal dari penjelasan panjang-lebarnya bahwa kematian adalah sesuatu yang asing tapi akrab bagi masyarakat Tana Toraja. Asing, karena dunia orang mati adalah dunia yang tak terjangkau oleh manusia yang hidup, tapi akrab karena keseharian mereka terpusat pada segala aspek yang muaranya adalah perayaan kematian. Bahkan, kerbau, yang sehari-hari digunakan untuk membajak sawah (mayoritas penduduk Tana Toraja adalah petani), dimaknai sebagai kendaraan arwah si mati sehingga setiap upacara kematian pasti selalu disertai dengan pengorbanan kerbau.

Sama seperti masyarakat Toraja pada umumnya, masyarakat Toraja Selatan (Toraja Sa'dan) di seputaran Rantepao dan Makale yang mempercayai Aluk Todolo (berarti agama orang dulu), selama hidupnya merasa diberi tugas mempersiapkan perjalanan ke alam lain, yakni puya (alam Nirwana) tempat Puang Matua bersemayam. Mereka menganggap diri mereka berasal dari sana dan turun ke bumi menggunakan sebuah tangga bambu. Karena puya dianggap berada di tempat tinggi di atas bumi, bagi masyarakat Toraja, saat meninggal, alangkah baik jika mereka semakin mendekat puya, dengan dimakamkan di bukit-bukit yang tinggi.

Masih berkaitan tentang perlunya upacara kematian, Toni juga bercerita tentang siri' mate, yakni tradisi malu, demi harga diri keluarga. Menurut kepercayaan Aluk Todolo, jenazah yang dimakamkan tanpa ada perayaan dan pengorbanan hewan (babi dan tedong) akan mempermalukan leluhur yang sudah berada di puya sekaligus keturunannya yang masih di bumi. Bahkan ada istilah bagi orang yang kematiannya tidak dirayakan, yakni tadibaa bongi, yang berarti orang yang jenazahnya dikubur malam-malam secara sembunyi-sembunyi. Suatu istilah yang menyatakan rasa pengecut, yang akan menurunkan derajat keluarga.

Bahkan, tutur Toni, kesempurnaan upacara mati di dunia akan mengkondisikan juga bagaimana status si mati: sebagai bombo (arwah gentayangan) atau tomembali puang (arwah yang telah kembali jadi dewa). Rupanya mitos adanya mayat hidup yang berjalan menuju makamnya itu muncul dari keberadaan bombo, yakni jenazah yang tidak disertai dengan upacara. "Apakah memang pernah ada kejadian itu?" tanya saya. Toni hanya tertawa. "Itu hanya bualan orang-orang," katanya.

Di Desa Kete' Kesu, saya menikmati malam turun. Deretan tongkonan beratap perahu dari bambu yang diganti setiap 30 tahun, ditopang tulak somba yang berbentuk salib, ukiran pa'barre allo (lingkaran matahari lambang kehidupan), serta pemandangan menhir-menhir zaman purba (yang juga ada di Bori) dan danau buatan di antara sawah-sawah hijau serta Buntu Kapolang (1.333 mdpl) nun jauh di barat laut membuat suasana sunyi yang turun pelan-pelan di Kete' Kesu terasa sangat syahdu.

Saya bayangkan, pada suatu waktu dulu--dan mungkin juga sampai nanti--di Kete' Kesu pasti dilakukan upacara adat dengan meoli (teriakan khas), mabadong (nyanyian lirih mirip ratapan), dan arak-arakan ma'palla (arak jenazah) yang riuh. Di tanah ini, zeitgeist-nya barangkali adalah merayakan hidup dengan memuliakan kematian.

FAUSTINUS HANDI, penikmat perjalanan, tinggal di Jakarta

Sumber : http://www.korantempo.com

Supermarket Berhantu!


Orang JB terutama yang di sebelah Tampoi, Skudai, Kulai etc tentunya mengenali Kemayan City. Kemayan City adalah sebuah kompleks yang terbengkalai mangsa kegawatan ekonomi tahun 1998. Ianya dikenali ramai kerana gahnya semasa pelancarannya dahulu juga jalan Overheadnya yang menjadi tempat U-turn ke Skudai atau Tampoi. Tak taulah status jalan tersebut samada diiktiraf atau tidak tetapi memang jem di situ terutama semasa waktu petang.

Tetapi kini Kemayan City menjadi tempat yang misteri dan dipercayai menjadi port Mat gian. Namun ada juga yang mengatakan Kemayan City berhantu terutama oleh warga Singapura seperti yang diceritakan oleh Ustaz JAIJ, Ustaz Hanafiah Abdul Razak.

JOHOR BAHRU: Mall berpuaka! Itulah gelaran diberi kepada kompleks beli-belah terbengkalai Kemayan City di Tampoi apabila beberapa keluarga rakyat Singapura terjebak membeli-belah di situ sebelum pulang ke negara asal mereka dengan membawa daun kering atau barangan dibeli lenyap begitu saja.

Cerita pelik dan menyeramkan berkaitan aktiviti paranormal di kompleks Kemayan City bukan lagi asing di kalangan masyarakat bandar raya ini, malah misteri alam ghaib di pusat beli-belah terbengkalai lebih 10 tahun lalu itu menjadi buah mulut penduduk Singapura.

Bagaikan badi kepada warga Singapura, cerita menggerunkan di Kemayan City dikatakan popular kalangan warga republik berkenaan yang mendakwa mengalami peristiwa dianggap susah diterima akal seperti berbelanja dan makan di pusat beli-belah yang sebenarnya tidak pernah beroperasi selepas projek itu terhenti pada 1998.

Kejadian menyeramkan di pusat beli-belah berkenaan pernah dialami sekeluarga rakyat Singapura dari kawasan perumahan di Woodland pada Jun tahun lalu.

Semuanya bermula apabila keluarga terbabit dikatakan mengunjungi pusat beli-belah terbengkalai terletak di tepi Jalan Johor Bahru-Air Hitam pada satu malam, ketika mereka dalam perjalanan pulang menghadiri majlis kenduri kahwin saudara di Melaka.

Sebaik tiba di Kilometer 13 Jalan Johor Bahru-Air Hitam menghala pusat bandar raya kira-kira jam 9 malam, keluarga terbabit tertarik ke arah bangunan di sebelah kiri jalan berkenaan yang bergemerlapan dengan lampu aneka warna dan meriah dengan kunjungan orang ramai.

Tarikan itu menyebabkan keluarga terbabit membuat keputusan singgah dan mendapati kemeriahan itu adalah majlis pembukaan pusat beli-belah yang diadakan secara besar-besaran.

Menyangkakan Kemayan City dipulih dan memulakan operasinya, keluarga berkenaan tidak melepaskan peluang singgah memandangkan malam masih awal.

Selepas berada lebih setengah jam di situ, keluarga berkenaan beredar kerana mempunyai satu lagi destinasi yang perlu singgah sebelum balik ke Singapura.

Mereka menuju rumah saudara di Kampung Pasir yang terletak tidak jauh dari pusat beli-belah berkenaan.

Ketika berada di rumah saudara, seorang ahli keluarga terbabit bercerita mengenai kehebatan majlis pembukaan Kemayan City ketika singgah di situ.

Sungguh mengejutkan apabila keluarga malang itu mendapat berita daripada saudara mereka bahawa bangunan yang didakwa beroperasi sebenarnya masih terbengkalai sehingga kini, bahkan semakin usang.

Pengalaman yang ditempuhi keluarga terbabit diceritakan sendiri mangsa kepada pegawai di Unit Falaq Syarie Jabatan Mufti Johor, Hanafiah Abdul Razak.

Menurut Hanafiah, beliau dihampiri mangsa ketika menyampaikan kuliah agama bulanan di kawasan perumahan berkenaan, beberapa hari selepas kejadian menyeramkan itu.

“Lelaki itu sering mengikuti kuliah agama saya dan pada satu hari dia bertanyakan kepada saya apakah yang berlaku di Kemayan City kerana ada ahli keluarganya mendakwa berbelanja di pusat beli-belah itu.

“Namun, semua barangan dibeli itu termasuk pakaian, didapati hilang sebaik mereka tiba di rumah dan keadaan itu menimbulkan gangguan emosi kepada keluarga berkenaan selepas melalui detik dianggap pelik dan menyeramkan itu,” katanya. Menurut Hanafiah, beliau turut pernah diajukan soalan yang meminta penjelasan berhubung alam ghaib oleh orang ramai yang mengikuti kuliah agamanya di negara republik itu, terutama berkaitan kejadian aneh di Kemayan City.

“Dari segi pandangan Islam, kejadian dialami segelintir pihak di bangunan terbengkalai itu angkara syaitan yang sentiasa mencari jalan untuk memperdaya dan menyesatkan umat Nabi Adam.

“Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar menerangkan beberapa jenis syaitan termasuk bernama Zalanbur berkeliaran di bandar untuk melalai dan melekakan manusia termasuk mendalangi kejadian individu yang pernah tersesat ke bangunan terbengkalai Kemayan City itu” katanya. Katanya, dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad ada menerangkan bahawa rumah atau bangunan yang dibiarkan kosong dan kotor untuk satu tempoh lama akan menjadi kediaman syaitan kerana lumrah makhluk yang dilaknat Allah itu menyukai benda kotor dan busuk.

“Namun, umat manusia amat bertuah kerana dikurniakan hadiah yang tidak ternilai oleh Allah iaitu al-Quran mengandungi ayat yang boleh dijadikan pendinding dari diganggu mahkluk halus seperti jin dan syaitan iaitu ayat Kursi” katanya.

Sumber: www.isuhangat.net

Isnin, 5 April 2010

Promo Morhabshi...

Berita baik untuk warga Sarawak amnya dan warga Kuching khususnya, minyak Morhabshi pesanan saya sudah sampai. Jika sesiapa yang ingin membuat belian untuk minyak tersebut, sila hubungi saya di talian:

Asri bin Sapiee : 016 8576778

Penghantaran percuma untuk area Kuching, dan untuk di luar Kuching (Miri, Sibu, Limbang, Lawas dan Bintulu)pesanan minima ialah 5 botol. Buatlah pesanan sekarang sementara stok masih ada!

Ahad, 4 April 2010

Keluhan Pagi Isnin...

Saya bertemu dengan seorang kawan lama, Azlan semasa hendak menaiki penambang di Boyan pagi tadi. Azlan merupakan rakan seusrah saya yang sama-sama aktif satu ketika dulu. Namun kini Azlan lebih cenderung untuk mengikuti Jamaah Tabligh dan dia lebih aktif mengikuti jamaah tersebut.

Kami menaiki penambang bersama, menyeberangi Sungai Sarawak yang arusnya agak deras dan ganas. Mungkin kerana air surut waktu pagi, menyebabkan pak tambang terhuyung-hayang mengawal kemudi perahu. Gementar juga rasanya melihat pak tambang dengan cermatnya 'bermain dayung'. Namun kerana yakin dengan lafaz bismillah yang telah diucapkan sebelum menaiki penambang sebentar tadi, jiwa rasa tenang seolah-olah Allah 'memujuk' hati saya supaya yakin dengan perlindunganNya.

Kami bersembang di dalam penambang. Azlan sudah beristeri dan beranak satu. Isterinya sama kampung, orang Kuching juga. "Mudahlah bila nak beraya..." saya berseloroh. Azlan ketawa sambil mempamerkan giginya yang tersusun rapi. Satu kelebihan yang saya lihat pada diri Azlan ialah dia memiliki perwatakan yang wara', berjiwa halus, sopan tutur kata dan nur kejujuran jelas terpancar di wajahnya. Inilah kelebihan yang dimiliki oleh kawan saya ini dan saya yakin dia juga seorang yang sangat alim dan menjaga ibadahnya. Ini telah saya dan rakan usrah yang lain telah maklum kerana perwatakan 'ustaz' jelas terserlah dalam diri Azlan.

Sesampainya di seberang, kami berbual sambil berjalan. Azlan bekerja di sebuah syarikat agensi kerajaan negeri, tidak jauh dari ofis saya. Sambil berjalan, pelbagai perkara tentang kerja dan kehidupan yang disembangkan. Bila menyentuh tentang kerja, Azlan 'mengeluh' mengenai tempat kerjanya, yang biasa dikeluh oleh orang lain, iaitu politik ofis. Ini saya dah sedia maklum kerana boleh kata semua ofis mempunyai cerita ofis politiknya sendiri. Malah perkara ini juga pernah berlaku kepada diri saya.

Azlan menceritakan, baru 3 bulan dia bekerja di syarikat tersebut, pelbagai kisah yang tidak berapa sedap didengar berlaku di ofis tersebut. Saya hanya mengiakan apa yang diluahkannya, kerana saya tidak nafikan perkara sedemikian banyak berlaku di mana-mana syarikat. Ada juga saya memberi pendapat dan pandangan kepadanya, mengikut kadar pengetahuan saya. Saya sendiri pun pernah ada masalah yang sama.

Apa yang dapat mampu dibuat, bersabar dengan karenah dan isu politik tersebut. Sukar untuk dielak perkara-perkara sedemikian kerana pejabat merupakan tempat untuk mencari rezeki. Nak tak nak, kita terpaksa pergi ke ofis setiap hari dan berhadapan dengan perkara tersebut.

Kami berpisah. Saya segera menyeberang jalan, melintasi bangunan Riverside Majestic yang tersergam indah, sambil mata saya melirik ke McDonald. Hmmmm, lama juga tak makan kat McDonald. ;-)

Sampai di tempat letak kereta di Top Spot, jam baru menunjukkan jam 7:50 pagi. Masih awal lagi, detik hati saya. Saya berjalan perlahan sambil menghirup udara pagi. Sempat juga bertegur sapa dengan beberapa orang di tepi jalan yang hendak turun kerja dengan berjalan kaki sambil melemparkan senyuman, walaupun saya sendiri tidak kenal mereka. Mereka membalas senyuman dan sapaan saya. Seolah-olah kami telah lama kenal.

Amalan memberi senyuman kepada orang yang tidak dikenali ini saya pelajari dari seorang lelaki Cina yang telah tua renta. Lelaki Cina ini, walaupun berusia lebih 80 tahun, masih kelihatan sihat dan segar. Rahsianya, memberi senyum dan bertegur sapa kepada orang lain, walaupun orang tersebut bukan orang yang kita kenali. Saya setuju dengan petua tersebut kerana memberi senyuman dan berbaik sangka dengan orang lain boleh menggembirakan hati dan mengurangkan stress. Seperti yang kita sedia maklum, stress merupakan pembunuh senyap no. 1 zaman ini. Makanya, badan yang sihat, datang dari hati dan jiwa yang sihat.

Wallahu 'alam...